Rabu, 19 November 2008

KELANA DI KOTA MATI

Pada hari yang dinanti, sebuah angan mengepakkan sayap kehidupan pada sebuah harapan baru. Angan pun melambung dan membubung tinggi ke puncak harapan yang jiwanya telah lebur dalam keheningan yang mencekam. Ia pun ingin menikmati keindahan kesunyian yang telah menggoreskan nyanyian kisah gundah sukma dalam lembaran hitam kelam, dan tak se detik pun waktu hendak dihabiskannya. Angan pun membisikkan keinginan untuk menuliskan kisah-kisah baru dari rangkaian derita yang tak berkesudahan dalam lembaran kebisuan itu. " Dan janganlah hendaknya engkau tinggalkan satu baris pun bait syair dari keabadian kisah itu", pesan sang angan.

Pesannya lagi, "tuliskanlah ia sebagai suatu kenangan pahit yang hanya ingin engkau kubur dalam diary keabadian berkunci emas kepalsuan yang telah menghadirkan derita pada jiwa Kelana Muda. Kelak saat sayap kehidupan patah dan menghantarkan jiwamu pada sebuah obsesi. Engkau pun terpuruk dan terhina dalam kemegahan dunia, lalu engkau akan melihat kedalam catatan lama, dan betapa jauhnya diri engkau dari obsesi itu. Engkau lalu merangkaikan duka dan obsesi realita kehausan hidup."

Dengan teriakan keras, denyut nadi membisikan pesan pada angan mu, " hidup hanyalah bagian dari perjuangan mu mencapai puncak tertinggi dari setiap harapan yang selalu terbang bersama angan-angan. Mampukah Engkau sebagai materi yang yang mengurung jiwa, mampu menempatkan diri pada kenyataan hidup, sedang dinamika nya selalu membawa dirimu pada posisi lemah? Jika pun Engkau hendak menggapai nya, maka berangkatlah dari penjara jiwa, meninggalkan raga dan kemegahan fana dunia, tahan lah sedikit pahitnya anggur demi nikmatnya syurga yang Engkau inginkan. Lepaskan selimut fikiran dan angan-angan mengambang dari setiap keinginan nikmatnya madu dunia".

Denyut kehidupan membangunkan keheningan senyap dari bisikan-bisikan jiwa. Lalu Sang Kelana Muda melambung tinggi untuk jatuh ke pusat gravitasi kesadaran emosional. Kesadaran yang membuka tabir hingga tak satu pori pun kehidupan luput dari tetesan air kesedihan dan
kepahitan. Sungguh ia lihat betapa jauhnya Sang Kelana dari obsesi itu.

Lalu Ia pun merenungkan sebuah jawaban yang tidak penah tuntas," Kenapakah air mata harus menetes adari dedaunan kehidupan yang bergoyang dalam hembusan angin pagi...?". Pada saat sayap kehidupan mengantarkan pada sebuah angan dan saat keheningan menuliskan kisah-kisah pada lembaran kebisuan, denyut jantungnya pun berhenti seketika. Tidak lagi terdengar debaran gelombang memburu karang-karang terjal, atau pun desah nafas asyq ma'syuk cinta bergelora. Tidak ada lagi nafas-nafas kehidupan yang mendambakan udara segar suci syurgawi nan bening suci itu. Lalu akhirnya angan menukik ke lembah kehinaan dari safana kehidupan yang selalu berlari menjauh. Ia pun kini laksana berada dalam Peti Mati ditengah keramaian kota mati...?

Tabir telah membuka kedok kehidupan dan meneteskan kotoran-kotoran dosa dari pori-pori penjara jiwa. Banyak sudah dosa-dosa yang melekat disekujur tubuh badannya. Dosa kehidupan yang tak akan dapat ditebus oleh sucinya bening embun pagi apalagi memutih nya hati. Berjuta mata melihat tetesan dosa disekujur tubuh Kelana Muda, berjuta hidung tertutup menghindar sengat busuk aroma yang ia bawa.

Sekarang ia pun sadar, berjuta-juta telinga tertutup dari indahnya musik kehidupan yang mengalun dari lantunan bibirnya. Musik kehidupan laksana petir yang menyebarkan prahara baru di jagat raya. Berjuta langkah kaki berlari dari bisikan sendu jeritan alam dan erangan karang yang dihempas gelombang kehidupan. Alunan nya pun menyebar pekik tak tertahan di berjuta telinga.

Sekarang, berjuta bibir miring sinis ketika Sang Kelana Muda, Pengkhotbah dari Neraka Keabadian menyeru pada yang berjuta-juta telinga. Akankah ia dapatkan murid penerus dari perilaku, sementara berjuta kaki berlari menjauh, sementara seruan nya dan ajakan nya adalah bagaikan suara pekikan pilu yang menyayat bathin. Kesadaran memberi ingat akan kekal tempatnya di lembah terdalam Neraka Keabadian itu. Betapa dilihatnya berjuta hati berlari menjauh dengan mata, telinga dan hidung yang tertutup rapat terkunci.

Nyata lah sudah dongengan dari lembaran kebisuan yang abadi dalam keheningan mencekam hati Sang Kelana Muda. Abadi lah jiwanya dalam keheningan, kekal lah hatinya dalam kesepian dan abadi lah ia berlari dalam kesendirian ditengah keramaian kota mati. Hati yang mati, jiwa yang mati.




Bogor' Mei 1991


Sang Kelana Muda.


Note : Di tuliskan kembali dari koleksi Pengemara Tua yang sudah tersimpan selama 17 Tahun